Minggu, 13 Maret 2011

[ Lomba Menulis Kisah Nyata Merapi 2010 - Kedaulatan Rakyat ]
Mendung pekat menyelimuti kawasan lereng Merapi. Aku duduk di teras depan sambil mendengarkan laporan dari titik – titik pantau sungai melalui HT. Tak lama kemudian hujan deras melanda. Terdengar laporan dari wilayah atas bahwa kapasitas aliran Kali Gendol cukup besar. Beberapa pemantau yang tampaknya sedikit panik membuat suasana mencekam. Dusunku terletak 17 km dari puncak Merapi dan 100 meter di sisi timur Kali Gendol. Aku berinisiatif memantau checkdam di sebelah barat dusun. Dengan membawa payung aku berjalan menembus hujan lebat menuju tanggul sisi timur Kali Gendol. Angin kencang dan hujan deras disertai petir membuatku sedikit cemas. Pandangan mata kulempar jauh ke arah checkdam yang terletak di sebelah barat laut dari posisiku berdiri. Aliran di checkdam masih landai. Namun tak lama kemudian, tiba – tiba mataku terfokus pada kepulan asap putih pekat yang membumbung di atas checkdam. Suara gemuruhpun mulai terdengar bersamaan dengan mengalirnya lahar dingin bercampur material melalui atas checkdam dan langsung menghujam dasar checkdam. Karena cuaca semakin tidak mendukung, aku memutuskan menuruni tanggul untuk kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah aku melaporkan pandangan mataku ke induk jaringan komunikasi desa kami melalui HT. Beberapa saat kemudian, Dendi yang sejak tadi memantau di checkdam Dusun Plumbon melintas di depan rumah. Bersama Dendi, aku melanjutkan pemantauan ke Checkdam Kejambon. Mengenakan jas hujan, helm, dan membawa HT, kami menembus lebatnya hujan untuk meluncur ke lokasi. Aku sedikit terkejut melihat aliran besar lahar dingin meluap sampai ke atas checkdam. Praktis akses jalan dari barat ke timur dan sebaliknya terputus. Sekitar 30cm ketinggian lahar dingin mengalir deras di atas checkdam. Aliran itu berwarna cokelat mirip kopi susu bercampur material dan batang – batang kayu. Tercium aroma belerang menyengat dari kepulan asap yang membumbung. Di sisi barat tampak samar karena tertutup kepulan asap, beberapa kendaraan memutar balik karena mustahil untuk menyeberang checkdam.

Beberapa saat kami memantau checkdam Kejambon, aku mendengar panggilan dari HT bahwa di checkdam Morangan kekurangan personil untuk memantau aliran. Kami berduapun segera meluncur kembali ke utara. Checkdam Morangan masih dapat dilalui kendaraan karena aliran masih melewati terowongan di bawah checkdam. Akan tetapi kabut tebal dari kepulan asap beraroma belerang itu sangat menghalangi pandangan di atas checkdam. Kendaraan yang akan melintas di atas checkdam harus menyalakan lampu agar sedikit bisa terlihat dari arah berlawanan. Lalu lintas cukup ramai karena jalur menuju Checkdam Kejambon dialihkan ke tempat kami berada. Dahsyatnya aliran yang terjadi di sini beberapa saat yang lalu bisa kuamati dari tingginya tumpukan material yang memenuhi sisi utara checkdam. Dari lokasi itu, aku dan Dendi berpindah ke checkdam Plumbon. Di checkdam Plumbon terlihat banyak warga menonton aliran lahar dingin yang juga mengalir di atas checkdam. Sama dengan checkdam Kejambon, di sini aliran berhasil memutus akses jalan. Sebuah batu berukuran cukup besar tampak kokoh berdiri di atas checkdam. Di sisi barat laut tampak beberapa truk pasir terjebak lahar dingin. Kepulan asap sangat pekat terlihat di sisi utara kami berdiri.

Beberapa saat kemudian aku mendengar melalui komunikasi HT, Lik Marno meminta kami memeriksa kondisi sumber mata air dusun kami yang terletak di checkdam Morangan. Kamipun segera meluncur kembali ke selatan. Kami berjalan perlahan menuruni tanggul yang licin menuju sumber mata air. Aku kaget melihat sumber mata air telah tertutup material lahar dingin. Dendi yang berjalan di depanku sempat terperosok sedalam lututnya ke dalam material pasir karena menyangka tumpukan material itu sudah memadat. Setelah melaporkan kondisi sumber mata air, kami segera menaiki tanggul kembali. Mengingat kondisi sudah semakin gelap, kami memutuskan pulang untuk mengkondisikan badan yang sejak tadi telah menggigil kedinginan.

04 - 05 November 2010 | 17 Km dari Puncak Merapi

Kentingan – 04 November 2010. Malam itu aku berusaha melawan pusing, pilek, bersin – bersin, dan pegal yang menyerang tubuhku di atas tempat tidur. Sambil merapatkan selimut, aku memejamkan mata, berharap deritaku ini segera lenyap. Akan tetapi upayaku itu tampaknya sia – sia saja karena suara gemuruh Merapi yang terdengar sepanjang hari itu semakin keras menggetarkan gendang telingaku. Tak lama kemudian, tiba – tiba terdengar atap rumahku dilanda hujan. Namun aku langsung menyadari bahwa itu bukan hujan biasa, melainkan hujan pasir dan kerikil. Di tengah situasi itu, aku segera bangkit dari tempat tidurku dan membangunkan ibuku yang telah tertidur bersama adikku. Listrikpun tiba – tiba mati dan membuat seluruh ruangan gelap gulita. Dari luar rumah terdengar suara Lik Jumangin berteriak kepada warga untuk bersiap. Akupun membuka pintu ruang tamu dan kusadari bahwa hujan pasir dan kerikil itu semakin deras. Dua sepeda motor tampak meluncur cepat di depan rumah kami menuju selatan. Tak lama kemudian di tengah kegelapan itu aku bisa melihat sosok bapak dan ibu yang menggendong anaknya berjalan hanya dengan penerangan obor berusaha menembus lebatnya hujan pasir. Beberapa saat kemudian kami diberi kabar bahwa aliran lahar panas telah mencapai Dusun Morangan yang hanya berjarak 1 kilometer di sebelah utara dusun kami. Mengetahui hal itu, aku langsung menjejalkan barang – barang ke dalam tas dan bergegas menuju rumah paman di Dusun Sorobayan menjauh dari Kali Gendol. Bapak telah berangkat terlebih dahulu karena harus menjemput nenek. Aku memboncengkan ibu yang masih menggendong adikku. Aku harus memakai mantel karena meskipun hujan pasir telah reda, kini hujan abu yang memenuhi udara. Dalam perjalanan aku bisa melihat melalui sudut mataku beberapa warga juga telah bersiap di depan rumah mereka.
Tak lama kemudian aku tiba di Sorobayan. Di dalam ruang tamu gelap yang hanya diterangi cahaya kecil dari lampu minyak itu, aku bisa melihat nenek dan kerabatku dari Pakem yang sudah sejak kemarin mengungsi di sini. Masker putih tampak menutup hidung dan mulut mereka. Aku melepas masker yang sejak tadi menutup mukaku dan langsung saja aroma belerang pekat merangsek masuk ke dalam hidungku. Kepanikan pada dini hari itu berhasil membuatku lupa bahwa sejam yang lalu kondisi badanku sedang dalam level terendah. Akupun memilih merebahkan badan daripada melihat situasi terakhir Kali Gendol bersama bapak. Sekitar jam tiga pagi, listrik kembali menyala. Aku segera menyetel TV untuk mengetahui berita terkini. Beberapa reporter tampak melaporkan situasi terkini terkait letusan terdahsyat Merapi sejak erupsi pertama 26 Oktober. Bapak yang sejak tadi memantau situasi sekitar, sudah kembali dan menginformasikan bila lahar panas telah mencapai chekdam Dusun Plumbon. Bapak menceritakan kisahnya melihat rumah – rumah terbakar.
Pagipun tiba, kami memutuskan untuk kembali pulang. Namun beberapa saat kami merasa tenang, tiba – tiba aku mendengar Pak RT meminta semua warga untuk berkumpul di Balai Desa Sindumartani karena aliran lahar telah mencapai Dusun Plumbon. Tanpa membuang waktu, aku mengantar ibu dan adikku ke Sorobayan. Kemudian aku meluncur ke balai desa yang hanya berjarak 100 meter dari rumah paman. Di sana sudah berkumpul warga dengan barang bawaan mereka. Tampak juga lalu lalang ambulans dan kendaraan tim SAR melintas menuju utara. Kami mendapat informasi bahwa warga akan diungsikan ke Stadion Maguwoharjo. Tak lama dua truk besar dan beberapa kendaraan milik TNI tiba di balai desa. Ketika warga berangkat, aku menjemput ibu dan adikku untuk segera meluncur ke rumah pakdhe di daerah Monjali. Sementara nenek dan kerabatku mengungsi di rumah saudara di Piyungan.

Rabu, 22 Juli 2009

Warga Dusun Kentingan Berhasil Mengalirkan Mata Air dari Dasar Sungai Gendol

Musim kemarau panjang di tahun 2006 yang melanda Dusun Kentingan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman; telah memaksa sebagian warga untuk menimba air dari sumur tetangga. Sementara itu kandungan air di sumur – sumur wargapun semakin menipis. Menggali sumur lebih dalam lagi akhirnya menjadi pilihan terakhir warga. Akan tetapi meski langkah ini telah dilaksanakan, air sumur masih tetap saja kian menipis.
Di tengah kekhawatiran tersebut, muncullah suatu ide yang kurang masuk akal dan terkesan nekat. Karena saya kurang tahu siapa sebenarnya pencetus ide ini, maka pada tulisan ini saya sebut saja Bapak Ahmad. Berawal ketika Pak Ahmad sedang duduk – duduk di atas dam (penahan banjir di Sungai Gendol) mengamati di bawah ada anak – anak sedang asyik mandi dan ibu – ibu mencuci pakaian di suatu kolam dengan sumber air yang jernih.Pak Ahmad melihat air yang jernih itu hanya terbuang sia – sia jika tidak dipakai untuk mandi atau mencuci. Pak Ahmad kemudian berpikir bagaimana jika air yang hanya terbuang percuma itu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan warga. Hal ini tentu akan sangat berarti di tengah kondisi kekeringan yang melanda Dusun Kentingan.
Pak Ahmad kemudian menyampaikan idenya itu kepada warga lain. Warga sebenarnya agak ragu dengan ide Pak Ahmad ini mengingat sumber air itu berada jauh di sebelah utara dusun. Belum lagi medan yang ditempuh juga berat. Apalagi di sebelah barat dusun terbentang tinggi tanggul penghalang banjir di sisi Sungai Gendol. Apakah mungkin bisa mengalirkan air dari sana? Tetapi setelah dipertimbangkan, akhirnya warga setuju bergotong royong mengalirkan air dari dasar Sungai Gendol itu ke perkampungan warga. Setiap KK ditarik dana swadaya Rp 350.000,00 untuk membeli pipa, semen, batako, dan sebagainya.
Gotong royong diawali dengan pembangunan bak penampungan kecil di sebelah kolam tempat mata air itu ditampung sebelumnya. Satu hal yang mengejutkan adalah sumber mata air itu ternyata bisa menghasilkan air dengan jumlah yang sangat besar. Sampai – sampai diesel penyedot air yang digunakan untuk mengeringkan lokasi gotong royong kewalahan. Warga tak kenal lelah membangun bak penampungan itu dari pagi hingga sore hari. Sore itu pembuatan bak penampungan telah rampung. Minggu depan direncanakan warga akan mulai menggali tanah untuk menanam pipa air.
Gotong royong berlanjut dengan menggali tanah menuju ke selatan. Tanah digali sedalam kurang lebih 10 cm. Warga menggali tanah sejajar dengan aliran Sungai Gendol, tepatnya di samping tanggul penahan banjir. Sedikit demi sedikit pipa – pipa dipasang di dalam tanah galian. Selama penggalian, pipa – pipa itu terus dialiri air sehingga kami bisa mengontrol apakah air bisa lancar melalui pipa. Medan yang berat dilalui warga pantang menyerah dengan terus menggali. Gotong royong ini kebetulan bersamaan dengan pembangunan dam baru di sebelah selatan dam lama di mana sumber mata air kami terletak. Karena dam baru itu posisinya melintang dari timur ke barat, maka kami meminta bantuan kepada pekerja proyek dam itu untuk menanamkan pipa kami di dalam dam tersebut.
Sejauh 500 meter dari sumber mata air, pipa kami sudah tertanam. Kami semakin merasa puas ketika air jernih itu bisa mengalir deras di lokasi terakhir kami menanam pipa. Kegembiraan warga sempat terusik karena sesekali air tidak mengalir karena masuknya udara ke dalam pipa sehingga menghambat aliran air. Akhirnya setelah melalui berbagai upaya dan percobaan serta menunggu beberapa waktu, aliran air kembali lancar. Sekarang pekerjaan berat yang menanti adalah mengalirkan air menaiki tanggul yang tingginya sekitar 8 meter. Kembali kami menata pipa menaiki tanggul. Pipa dari utara disambung ke pipa yang menanjak itu. Ketegangan muncul ketika kami menunggu apakah air bisa naik dan melampaui tanggul. Akhirnya air bisa mengalir deras di atas tanggul. Selama satu minggu air itu dibiarkan mengalir deras di sebelah timur tanggul. Beberapa warga memanfaatkannya untuk mandi
Minggu berikutnya, kami menggali tanah lagi untuk menanam pipa menuju timur ke tengah perkampungan warga. Kami berhasil mengalirkan air itu sampai pemukiman warga. Karena belum ada bak penampungan, maka air itu dibiarkan mengalir begitu saja. Air itu menggerojog di depan rumah saya. Banyak warga yang tertarik melihat aliran deras air itu. Banyak pula warga sekitar yang memanfaatkannya untuk mencuci dan mandi. Akan tetapi masalah kembali muncul yaitu sering matinya aliran air karena masuknya udara ke dalam pipa sehingga menghambat aliran air. Selain itu lama kelamaan air menjadi berwarna kekuning – kuningan karena berkarat. Jika dicium, air itu berbau seperti besi berkarat. Mungkin karena air banyak mengandung zat besi. Air baru bisa jernih kembali setelah disentor di sebelah barat tanggul. Di pertemuan pipa mendatar dari utara dengan pipa yang posisinya naik ke atas tanggul itu telah dipasangi stop kran yang fungsinya untuk menguras (menyentor) air dari utara.
Karena timbulnya masalah ini, kemudian warga membangun bak penyaringan air yang terletak di atas tanggul. Bak penyaringan itu diisi pasir, kerikil, ijuk, dan berbagai bahan yang diharapkan bisa menyaring karat. Bak utama di utara tempat sumber mata air berada juga sudah diberi bahan – bahan untuk menyaring tadi. Setelah pembuatan bak penyaringan itu, air tidak terlalu berkarat lagi. Aliran air sekarang juga sudah bisa dinikmati di setiap rumah warga karena sudah dialirkan melalui pipa – pipa kecil menuju rumah – rumah warga. Meskipun karat dalam air sudah banyak berkurang, akan tetapi kandungan karat dalam air itu masih tetap saja ada. Terbukti dengan menguningnya air jika tidak dikuras selama beberapa hari. Akhirnya untuk mengatasi hal tersebut, setiap hari air dikuras. Setiap hari dijadwalkan dua orang warga bertugas menguras air. Jika dihitung – hitung, seorang warga bertugas menguras air setiap tiga minggu sekali.

Rabu, 03 Juni 2009

MotoGP LeMans – France; May 17, 2009

Berdasarkan tayangan yang disiarkan langsung oleh Trans7. Terima Kasih Trans7.

Dani Pedrosa yang berada di pole position langsung melesat cepat ke depan diikuti Casey Stoner, Jorge Lorenzo, dan Valentino Rossi. Kepemimpinan Dani Pedrosa tidak berlangsung lama (bahkan tidak sampai satu lap) karena Jorge Lorenzo yang sudah menyalip Casey Stoner langsung melibas Dani Pedrosa. Tak lama Valentino Rossi juga mulai melibas Casey Stoner dan Dani Pedrosa. Praktis dua rider FIAT YAMAHA itu memimpin di depan. Andrea Dovisiozo juga tak mau kalah, ia juga menguntit Valentino Rossi di posisi ketiga setelah menyalip Casey Stoner dan Dani Pedrosa.
Beberapa lap kemudian, situasi yang cukup kacau namun sangat seru untuk disaksikan adalah ketika sirkuit mulai mengering. Valentino Rossi yang masih di posisi ke dua di belakang Jorge Lorenzo membelokkan kemudinya secara dramatis masuk ke pitstop. Andrea Dovisiozo sekarang yang menguntit pemimpin lomba-Jorge Lorenzo-di posisi ke dua. Valentino menjadi rider pertama yang masuk pit dan ganti motor dengan ban kering. Kemudian beberapa rider di belakang juga tampak turun dari motornya dan naik ke motor lain yang sudah disiapkan teamnya di depan garasi mereka. Valentino Rossi bergegas naik ke motor dengan ban kering dan kembali masuk lintasan. Namun tiba – tiba kamera yang terpasang di bagian ekor motor YZR-M1 (tampak tulisan PETRONAS di sana) menampilkan posisi motor yang ambruk di gravel. Awalnya saya mengira itu adalah Jorge Lorenzo yang sejak tadi memimpin balapan. Tetapi ternyata bukan, itu Valentino Rossi. Terlihat Valentino bersusah payah berusaha mendirikan motornya yang ambruk. Dibantu panitia yang ada di dekat situ, Valentino kembali masuk lintasan meski dengan body bagian depan motor yang cukup berantakan. Dari tayangan ulang, tampak bahwa Valentino terpeleset di lintasan yang masih cukup basah karena memakai ban kering. Valentino Rossi terpaksa kembali masuk pitstop untuk ganti dengan motornya yang tadi (ban basah). Valentino sudah cukup tertinggal jauh oleh rider – rider lainnya. Performa cukup baik justru ditampilkan Marco Melandri rider HAYATE Racing (Kawasaki). Ia berhasil merangsek ke posisi depan. Tak lama kemudian kamera tivi menampilkan personil team FIAT YAMAHA yang memegang papan komunikasi dengan Valentino Rossi bertuliskan BOX. Hal ini berarti Valentino harus kembali ke pit. Valentino tampak turun dari motornya dan berganti ke motor yang lain. Sepertinya motor yang rusak tadi sudah diperbaiki dan sudah diganti ban kering. Kembali Valentino masuk lintasan berusaha mengejar rider – rider lain. Namun baru beberapa saat melaju di lintasan, RACE DIRECTION mengumumkan bahwa rider nomor 46 ROSSI terkena PENALTY karena melakukan speeding di pit lane. Tentu saja hal ini semakin memperburuk posisi Valentino. Mungkin ini adalah hari yang sial untuk Valentino.
Balapan terus berlanjut dan Jorge Lorenzo masih memimpin. Setelah membuat GAP yang cukup jauh dengan rider di belakangnya, ia masuk ke pit untuk mengganti motornya yang sejak tadi masih memakai ban basah. Strategi Jorge memang cukup jitu karena setelah keluar pit, ia masih memimpin balapan. Kali ini yang menguntitnya bukan rider nomor 4 REPSOL HONDA-Andrea Dovisiozo yang masuk ke pit untuk ganti motor, tetapi Marco Melandri-HAYATE Racing (Kawasaki). Marco memacu motor Kawasaki hitam dengan sablon nomor 33 di posisi ke dua. Andrea sekarang di posisi ke tiga. Casey Stoner tampak tak berdaya di sirkuit dengan jumlah tikungan yang cukup banyak ini. Desmosedici GP-9 jelas kurang bisa bersahabat dengan trek sepanjang 4.180 meter dan lebar 13 meter ini.
Sementara itu Dani Pedrosa yang ada di posisi ke empat terlihat sudah mulai menemukan ritme balapan. Menjelang akhir balapan, ketika balapan tinggal menyisakan dua lap, GAP-nya dengan Andrea terus berkurang. GAP di setiap intermediate lintasan menunjukkan selisih yang negatif alias minus. Akhirnya di lap terakhir, pada jarak yang sudah lumayan dekat dengan finish line, Dani berhasil melibas Dovi, rekan satu teamnya sendiri. Harapan Dovi untuk bisa naik podium gagal sudah. Dani finish di posisi ke tiga. Jorge jadi juara LeMans diikuti Marco di tempat ke dua. Jorge tampak sangat gembira dengan kemenangan ini dan merayakan LORENZO’s LAND dengan menancapkan bendera bertuliskan LORENZO dengan logo EX-FUERA-nya.

Jumat, 15 Mei 2009

Jumat 25 Juli 2008

Jumat July 25th 2008


Pagi agak siang kuterbangun setelah semalam aku melek sampai pagi sekitar jam 03.30 karena asik maen internet gratis. Kemaren aku juga abis nyengsu bareng Bodhong, Noel, Fanny, Topan, Bojez, Agus, Yuge, Wita, dan Ephik di rumah Cipit.

Pagi ini sambil internetan gratis lagi, aku sms Mas Agus mao pesen MicroSD buat hapeku, dan katanya bisa. Siangnya aku disuruh ke konternya agar Mas Agus bisa melihat hapeku.

Sore hari aku ditelpon Mas Agus suruh ngambil MicroSD-nya. Akupun keluar rumah sambil membawa beberapa tugas. Pertama Fotokopi pengumuman lomba volly di Klewer, kemudian menyerahkan surat kepada Pak Barman, selanjutnya mengambil surat undangan untuk Bapakku di tempat Mas Sarno, dan yang terakhir ke konter Ramadhan Cell. Di sana sudah ada salesnya Mas Agus dengan barang pesananku. Mas Agus dan Sales itu menawariku card reader juga untuk alasan keamanan transfer data ke hape. Mereka membandrol harga Rp35.000. Aku memutuskan tidak beli card readernya dulu. Besok aja coba di Mozes. Ketika aku mau pulang, Mas Agus memanggilku dan mengembalikan uang Rp5.000 dari Rp55.000 yang kubayarkan kepadanya.

(Javanese Language)

Bengine aku mangkat Ngepos. Ning Kulonne Supri mung ana Supri, Enci, Pomo, karo Djembloh. Gonel lan Mas Agus ora njedhul. Aku bingung arep mangkat ora, lha wong le ngepos we nenggone Jumadi rak yho aku rada miris nek liwat kulon Jaratan dhewe. Yo wis aku manteb mangkat bar pamitan karo wong papat mau. Aku banjur ngulon nenggone Pairo arep njupuki beras. Arahku ngalor sisih kulon dalan. Ananging nggone Pak Topo semubeng kae melu tak jupukki. Aku terus bali mulih sikik arep jupuk senter. Sawise kuwi aku langsung ngalor liwat nggone Lek Tukijo terus ngalor liwat etanne Mas Yanto. Lha neng kene ini aku wedi tenanan. Wetanku Jaratan medheni banget. Aku mlaku terus maju munggah pager kidul omahe Sigit Kecrot karo rada merinding. Ning duwur kene iki aku ngliwati papringan singup ning kiwo lan tenganku. Bablas wae aku mlaku rada banter nganti tekan ngarepane Sigit Kecrot. Aku isoh rada nyantai pas tekan kene iki. Bar kuwi aku rada wedi meneh pas liwat Watu Tumpang. Banter wae anggonku mlaku karo nyenteri dalan. Sukur aku iso tekan nggone Jumadi kanthi slamet. Neng kono wes ono Lek Daliman karo Mas Catur. Dadine sing ngepos yho mung wong telu kuwi ditambah Pak Jumadi.

Jam 01.20 aku mulih karo Mas Catur. Lek Daliman isih nglekar wae. Aku bali liwat dalan mau ngidul dhewe. Tekan ngomah aku weruh ibuk isih njahit lan rika isih dolanan hape. Aku nyetel komputer eneh lan internetan meneh nganti jam 03.00.

(Translationnya Javanese Language di atas)

Malamnya aku berangkat ronda. Di sebelah barat rumah Supri cuma ada Supri, Enci, Pomo, dan Djembloh. Gonel dan Mas Agus gak muncul. Aku bingung mau berangkat ato enggak, soalnya ronda malam ini bertempat di rumah Pak Jumadi, tentu saja aku agak ngeri kalo lewat sebelah barat kuburan sendirian. Ya udah aku mantap berangkat setelah berpamitan dengan keempat orang tadi. Aku jalan ke barat menuju rumah Lek Pairo mao ngambil beras jimpitan. Arah jalanku ke utara di sisi barat jalan. Tetapi aku juga mengambili beras jimpitan di sekeliling rumah Pak Topo. Kemudian aku pulang dulu untuk mengambil senter. Setelah itu aku langsung berjalan ke utara lewat rumah Lek Tukijo lalu ke utara lagi lewat sebelah timur rumah Mas Yanto. Di tempat inilah aku benar – benar merasa ngeri. Di sebelah timur jalanku adalah kuburan yang serem banget. Aku maju jalan terus saja lalu naik pagar bebatuan di sebelah selatan rumah Sigit Kecrot sambil agak merinding. Di atas sini aku melewati kumpulan pohon bambu di sisi kiri dan kananku yang penuh dengan suasana mistis. Aku melaju saja terus dengan agak cepat sampai halaman rumah Sigit Kecrot. Aku bisa agak nyantai ketika sampai tempat ini. Setelah itu aku jadi agak ngeri lagi ketika mau melewati Watu Tumpang. Cepat saja aku berjalan sambil menyenteri jalan. Bersyukur aku bisa sampai rumah Pak Jumadi dengan selamat. Di dalam sudah ada Lek Daliman dan Mas Catur. Anggota yang hadir ronda Cuma tiga orang, ditambah Pak Jumadi. Jam 01.20 pagi aku pulang bersama Mas Catur. Lek Daliman masih terlelap di atas tikar. Aku pulang melewati jalan yang tadi sendirian lagi karena Mas Catur jalan ke arah utara.

Gempa Bumi di Bawah Beringin Sendangsono

Tengah malam telah menjelang ketika kami berlima berjalan menuruni pendapa. Tak lupa Gendhonk dan Agung membawa botol sebagai wadah air “suci” dari mata air Sendangsono. Kemudian kami berjalan melewati jembatan menuju sumber mata air. Aku, Yudha, Gendhonk, dan Agung menuruni tangga untuk mengambil air, sementara Cicus menunggu di atas. Seketika dingin begitu mendadak mengalir bersama air yang membasahi tanganku dari keran air yang kami buka.

Setelah dirasa cukup, kami berempat naik melalui tangga menuju ke arah Cicus berdiri. Agung membawa air dalam botol air mineralnya, sementara Gendhonk dengan jirigen kecilnya. Sampai di atas kami berlima menyalakan lilin di antara puluhan lilin lain yang menyala di atas bebatuan. Di belakangnya kami bisa melihat Patung Bunda Maria yang seakan bergerak – gerak tertimpa cahaya lilin – lilin kecil kami. Rupanya kami tak sendirian di tempat itu. Karena kami melihat ada seorang yang duduk sendiri dan menundukkan kepalanya. Ada juga seorang yang sedang tertidur pulas tepat di samping pohon beringin besar.

Setelah itu kami berlima duduk bersila di depan lilin – lilin kecil yang cahayanya bergoyang terkena hembusan dingin angin malam. Kamipun terdiam, memejamkan mata, dan mulai berdoa. Namun baru lima menit kami berdoa, tiba – tiba “Kelotak, kelotak , kelotak…” terdengar suara aneh dari atap bangunan altar di depan kami yang kemudian berhenti sesaat dan disambut dengan getaran aneh. Suara itu terdengar lagi lebih keras sekarang dan aku bisa merasakan tanah di bawahku telah bergoyang ke kiri dan ke kanan. “Gempa Dhonk!!” ucap Agung lirih di sampingku. Jantungku benar – benar berdebar kencang sekarang. Perasaan benar – benar tidak karuan. Pikiranku berisi tentang cerita akhir dunia. Aku semakin takut dan tak berhenti mengucapkan doa sementara getaran di bawahku tak juga kunjung berhenti. Pohon beringin di belakang kami juga ikut berisik. Dari atas muncul suara – suara seakan pohon raksasa itu akan menjatuhkan sesuatu. Dan ternyata benar, aku bisa mendengar ranting – ranting kecil berjatuhan tepat di sampingku. Namun tak tahu mengapa kami belima tetap saja duduk tenang. Kami tak peduli lagi dengan apa yang mungkin akan terjadi pada kami. Tak lama tanah di bawah kami mulai berhenti bergoyang. Aku mulai berusaha mengendalikan laju nafasku. Sampai akhirnya suasana kembali hening. Hanya terdengar lirih suara nafas orang – orang yang sangat ketakutan.

Setelah itu kami semua meninggalkan tempat kami berdoa sambil saling bercerita tentang pengalaman luar biasa yang baru saja kami alami. Perasaan takut itu masih membekas di hatiku yang tak jarang membuat tubuh merasa merinding.
Sampai di pendapa, kami berlima masih berbincang – bincang sebelum akhirnya merebahkan badan yang terbalutkan dinginnya malam yang kejam.

Jumat, 24 Oktober 2008

Pemuda Kentingan akan melakukan Pergantian Pengurus

Dua tahun sudah masa pemerintahan Hartana, S.I.P berjalan. Di tengah kesibukan kerjanya yang hampir selalu keluar kota, Hartana menginstruksikan agar kepengurusan segera diganti. Mengingat sepeninggalnya bekerja, Pemuda Kentingan 99% vakum. Hartana menginginkan hadirnya perubahan dengan dibentuk pengurus baru agar Kegiatan Pemuda bisa kembali berjalan. Rencananya pengurus yang baru nantinya akan dilantik di luar Dusun Kentingan, alias sekalian wisata bersama. Tujuannya untuk kembali menjalin keakraban Pemuda yang telah sekian lama tidak pernah berkumpul bersama. Semua rencana ini akan dirundingkan dulu dalam rapat umum yang akan diselenggarakan besok 8 November 2008 bertempat di Rumah Sdr. SARYONO.