Jumat, 15 Mei 2009

Jumat 25 Juli 2008

Jumat July 25th 2008


Pagi agak siang kuterbangun setelah semalam aku melek sampai pagi sekitar jam 03.30 karena asik maen internet gratis. Kemaren aku juga abis nyengsu bareng Bodhong, Noel, Fanny, Topan, Bojez, Agus, Yuge, Wita, dan Ephik di rumah Cipit.

Pagi ini sambil internetan gratis lagi, aku sms Mas Agus mao pesen MicroSD buat hapeku, dan katanya bisa. Siangnya aku disuruh ke konternya agar Mas Agus bisa melihat hapeku.

Sore hari aku ditelpon Mas Agus suruh ngambil MicroSD-nya. Akupun keluar rumah sambil membawa beberapa tugas. Pertama Fotokopi pengumuman lomba volly di Klewer, kemudian menyerahkan surat kepada Pak Barman, selanjutnya mengambil surat undangan untuk Bapakku di tempat Mas Sarno, dan yang terakhir ke konter Ramadhan Cell. Di sana sudah ada salesnya Mas Agus dengan barang pesananku. Mas Agus dan Sales itu menawariku card reader juga untuk alasan keamanan transfer data ke hape. Mereka membandrol harga Rp35.000. Aku memutuskan tidak beli card readernya dulu. Besok aja coba di Mozes. Ketika aku mau pulang, Mas Agus memanggilku dan mengembalikan uang Rp5.000 dari Rp55.000 yang kubayarkan kepadanya.

(Javanese Language)

Bengine aku mangkat Ngepos. Ning Kulonne Supri mung ana Supri, Enci, Pomo, karo Djembloh. Gonel lan Mas Agus ora njedhul. Aku bingung arep mangkat ora, lha wong le ngepos we nenggone Jumadi rak yho aku rada miris nek liwat kulon Jaratan dhewe. Yo wis aku manteb mangkat bar pamitan karo wong papat mau. Aku banjur ngulon nenggone Pairo arep njupuki beras. Arahku ngalor sisih kulon dalan. Ananging nggone Pak Topo semubeng kae melu tak jupukki. Aku terus bali mulih sikik arep jupuk senter. Sawise kuwi aku langsung ngalor liwat nggone Lek Tukijo terus ngalor liwat etanne Mas Yanto. Lha neng kene ini aku wedi tenanan. Wetanku Jaratan medheni banget. Aku mlaku terus maju munggah pager kidul omahe Sigit Kecrot karo rada merinding. Ning duwur kene iki aku ngliwati papringan singup ning kiwo lan tenganku. Bablas wae aku mlaku rada banter nganti tekan ngarepane Sigit Kecrot. Aku isoh rada nyantai pas tekan kene iki. Bar kuwi aku rada wedi meneh pas liwat Watu Tumpang. Banter wae anggonku mlaku karo nyenteri dalan. Sukur aku iso tekan nggone Jumadi kanthi slamet. Neng kono wes ono Lek Daliman karo Mas Catur. Dadine sing ngepos yho mung wong telu kuwi ditambah Pak Jumadi.

Jam 01.20 aku mulih karo Mas Catur. Lek Daliman isih nglekar wae. Aku bali liwat dalan mau ngidul dhewe. Tekan ngomah aku weruh ibuk isih njahit lan rika isih dolanan hape. Aku nyetel komputer eneh lan internetan meneh nganti jam 03.00.

(Translationnya Javanese Language di atas)

Malamnya aku berangkat ronda. Di sebelah barat rumah Supri cuma ada Supri, Enci, Pomo, dan Djembloh. Gonel dan Mas Agus gak muncul. Aku bingung mau berangkat ato enggak, soalnya ronda malam ini bertempat di rumah Pak Jumadi, tentu saja aku agak ngeri kalo lewat sebelah barat kuburan sendirian. Ya udah aku mantap berangkat setelah berpamitan dengan keempat orang tadi. Aku jalan ke barat menuju rumah Lek Pairo mao ngambil beras jimpitan. Arah jalanku ke utara di sisi barat jalan. Tetapi aku juga mengambili beras jimpitan di sekeliling rumah Pak Topo. Kemudian aku pulang dulu untuk mengambil senter. Setelah itu aku langsung berjalan ke utara lewat rumah Lek Tukijo lalu ke utara lagi lewat sebelah timur rumah Mas Yanto. Di tempat inilah aku benar – benar merasa ngeri. Di sebelah timur jalanku adalah kuburan yang serem banget. Aku maju jalan terus saja lalu naik pagar bebatuan di sebelah selatan rumah Sigit Kecrot sambil agak merinding. Di atas sini aku melewati kumpulan pohon bambu di sisi kiri dan kananku yang penuh dengan suasana mistis. Aku melaju saja terus dengan agak cepat sampai halaman rumah Sigit Kecrot. Aku bisa agak nyantai ketika sampai tempat ini. Setelah itu aku jadi agak ngeri lagi ketika mau melewati Watu Tumpang. Cepat saja aku berjalan sambil menyenteri jalan. Bersyukur aku bisa sampai rumah Pak Jumadi dengan selamat. Di dalam sudah ada Lek Daliman dan Mas Catur. Anggota yang hadir ronda Cuma tiga orang, ditambah Pak Jumadi. Jam 01.20 pagi aku pulang bersama Mas Catur. Lek Daliman masih terlelap di atas tikar. Aku pulang melewati jalan yang tadi sendirian lagi karena Mas Catur jalan ke arah utara.

Gempa Bumi di Bawah Beringin Sendangsono

Tengah malam telah menjelang ketika kami berlima berjalan menuruni pendapa. Tak lupa Gendhonk dan Agung membawa botol sebagai wadah air “suci” dari mata air Sendangsono. Kemudian kami berjalan melewati jembatan menuju sumber mata air. Aku, Yudha, Gendhonk, dan Agung menuruni tangga untuk mengambil air, sementara Cicus menunggu di atas. Seketika dingin begitu mendadak mengalir bersama air yang membasahi tanganku dari keran air yang kami buka.

Setelah dirasa cukup, kami berempat naik melalui tangga menuju ke arah Cicus berdiri. Agung membawa air dalam botol air mineralnya, sementara Gendhonk dengan jirigen kecilnya. Sampai di atas kami berlima menyalakan lilin di antara puluhan lilin lain yang menyala di atas bebatuan. Di belakangnya kami bisa melihat Patung Bunda Maria yang seakan bergerak – gerak tertimpa cahaya lilin – lilin kecil kami. Rupanya kami tak sendirian di tempat itu. Karena kami melihat ada seorang yang duduk sendiri dan menundukkan kepalanya. Ada juga seorang yang sedang tertidur pulas tepat di samping pohon beringin besar.

Setelah itu kami berlima duduk bersila di depan lilin – lilin kecil yang cahayanya bergoyang terkena hembusan dingin angin malam. Kamipun terdiam, memejamkan mata, dan mulai berdoa. Namun baru lima menit kami berdoa, tiba – tiba “Kelotak, kelotak , kelotak…” terdengar suara aneh dari atap bangunan altar di depan kami yang kemudian berhenti sesaat dan disambut dengan getaran aneh. Suara itu terdengar lagi lebih keras sekarang dan aku bisa merasakan tanah di bawahku telah bergoyang ke kiri dan ke kanan. “Gempa Dhonk!!” ucap Agung lirih di sampingku. Jantungku benar – benar berdebar kencang sekarang. Perasaan benar – benar tidak karuan. Pikiranku berisi tentang cerita akhir dunia. Aku semakin takut dan tak berhenti mengucapkan doa sementara getaran di bawahku tak juga kunjung berhenti. Pohon beringin di belakang kami juga ikut berisik. Dari atas muncul suara – suara seakan pohon raksasa itu akan menjatuhkan sesuatu. Dan ternyata benar, aku bisa mendengar ranting – ranting kecil berjatuhan tepat di sampingku. Namun tak tahu mengapa kami belima tetap saja duduk tenang. Kami tak peduli lagi dengan apa yang mungkin akan terjadi pada kami. Tak lama tanah di bawah kami mulai berhenti bergoyang. Aku mulai berusaha mengendalikan laju nafasku. Sampai akhirnya suasana kembali hening. Hanya terdengar lirih suara nafas orang – orang yang sangat ketakutan.

Setelah itu kami semua meninggalkan tempat kami berdoa sambil saling bercerita tentang pengalaman luar biasa yang baru saja kami alami. Perasaan takut itu masih membekas di hatiku yang tak jarang membuat tubuh merasa merinding.
Sampai di pendapa, kami berlima masih berbincang – bincang sebelum akhirnya merebahkan badan yang terbalutkan dinginnya malam yang kejam.