Jumat, 15 Mei 2009

Gempa Bumi di Bawah Beringin Sendangsono

Tengah malam telah menjelang ketika kami berlima berjalan menuruni pendapa. Tak lupa Gendhonk dan Agung membawa botol sebagai wadah air “suci” dari mata air Sendangsono. Kemudian kami berjalan melewati jembatan menuju sumber mata air. Aku, Yudha, Gendhonk, dan Agung menuruni tangga untuk mengambil air, sementara Cicus menunggu di atas. Seketika dingin begitu mendadak mengalir bersama air yang membasahi tanganku dari keran air yang kami buka.

Setelah dirasa cukup, kami berempat naik melalui tangga menuju ke arah Cicus berdiri. Agung membawa air dalam botol air mineralnya, sementara Gendhonk dengan jirigen kecilnya. Sampai di atas kami berlima menyalakan lilin di antara puluhan lilin lain yang menyala di atas bebatuan. Di belakangnya kami bisa melihat Patung Bunda Maria yang seakan bergerak – gerak tertimpa cahaya lilin – lilin kecil kami. Rupanya kami tak sendirian di tempat itu. Karena kami melihat ada seorang yang duduk sendiri dan menundukkan kepalanya. Ada juga seorang yang sedang tertidur pulas tepat di samping pohon beringin besar.

Setelah itu kami berlima duduk bersila di depan lilin – lilin kecil yang cahayanya bergoyang terkena hembusan dingin angin malam. Kamipun terdiam, memejamkan mata, dan mulai berdoa. Namun baru lima menit kami berdoa, tiba – tiba “Kelotak, kelotak , kelotak…” terdengar suara aneh dari atap bangunan altar di depan kami yang kemudian berhenti sesaat dan disambut dengan getaran aneh. Suara itu terdengar lagi lebih keras sekarang dan aku bisa merasakan tanah di bawahku telah bergoyang ke kiri dan ke kanan. “Gempa Dhonk!!” ucap Agung lirih di sampingku. Jantungku benar – benar berdebar kencang sekarang. Perasaan benar – benar tidak karuan. Pikiranku berisi tentang cerita akhir dunia. Aku semakin takut dan tak berhenti mengucapkan doa sementara getaran di bawahku tak juga kunjung berhenti. Pohon beringin di belakang kami juga ikut berisik. Dari atas muncul suara – suara seakan pohon raksasa itu akan menjatuhkan sesuatu. Dan ternyata benar, aku bisa mendengar ranting – ranting kecil berjatuhan tepat di sampingku. Namun tak tahu mengapa kami belima tetap saja duduk tenang. Kami tak peduli lagi dengan apa yang mungkin akan terjadi pada kami. Tak lama tanah di bawah kami mulai berhenti bergoyang. Aku mulai berusaha mengendalikan laju nafasku. Sampai akhirnya suasana kembali hening. Hanya terdengar lirih suara nafas orang – orang yang sangat ketakutan.

Setelah itu kami semua meninggalkan tempat kami berdoa sambil saling bercerita tentang pengalaman luar biasa yang baru saja kami alami. Perasaan takut itu masih membekas di hatiku yang tak jarang membuat tubuh merasa merinding.
Sampai di pendapa, kami berlima masih berbincang – bincang sebelum akhirnya merebahkan badan yang terbalutkan dinginnya malam yang kejam.

Tidak ada komentar: