Minggu, 13 Maret 2011

[ Lomba Menulis Kisah Nyata Merapi 2010 - Kedaulatan Rakyat ]
Mendung pekat menyelimuti kawasan lereng Merapi. Aku duduk di teras depan sambil mendengarkan laporan dari titik – titik pantau sungai melalui HT. Tak lama kemudian hujan deras melanda. Terdengar laporan dari wilayah atas bahwa kapasitas aliran Kali Gendol cukup besar. Beberapa pemantau yang tampaknya sedikit panik membuat suasana mencekam. Dusunku terletak 17 km dari puncak Merapi dan 100 meter di sisi timur Kali Gendol. Aku berinisiatif memantau checkdam di sebelah barat dusun. Dengan membawa payung aku berjalan menembus hujan lebat menuju tanggul sisi timur Kali Gendol. Angin kencang dan hujan deras disertai petir membuatku sedikit cemas. Pandangan mata kulempar jauh ke arah checkdam yang terletak di sebelah barat laut dari posisiku berdiri. Aliran di checkdam masih landai. Namun tak lama kemudian, tiba – tiba mataku terfokus pada kepulan asap putih pekat yang membumbung di atas checkdam. Suara gemuruhpun mulai terdengar bersamaan dengan mengalirnya lahar dingin bercampur material melalui atas checkdam dan langsung menghujam dasar checkdam. Karena cuaca semakin tidak mendukung, aku memutuskan menuruni tanggul untuk kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah aku melaporkan pandangan mataku ke induk jaringan komunikasi desa kami melalui HT. Beberapa saat kemudian, Dendi yang sejak tadi memantau di checkdam Dusun Plumbon melintas di depan rumah. Bersama Dendi, aku melanjutkan pemantauan ke Checkdam Kejambon. Mengenakan jas hujan, helm, dan membawa HT, kami menembus lebatnya hujan untuk meluncur ke lokasi. Aku sedikit terkejut melihat aliran besar lahar dingin meluap sampai ke atas checkdam. Praktis akses jalan dari barat ke timur dan sebaliknya terputus. Sekitar 30cm ketinggian lahar dingin mengalir deras di atas checkdam. Aliran itu berwarna cokelat mirip kopi susu bercampur material dan batang – batang kayu. Tercium aroma belerang menyengat dari kepulan asap yang membumbung. Di sisi barat tampak samar karena tertutup kepulan asap, beberapa kendaraan memutar balik karena mustahil untuk menyeberang checkdam.

Beberapa saat kami memantau checkdam Kejambon, aku mendengar panggilan dari HT bahwa di checkdam Morangan kekurangan personil untuk memantau aliran. Kami berduapun segera meluncur kembali ke utara. Checkdam Morangan masih dapat dilalui kendaraan karena aliran masih melewati terowongan di bawah checkdam. Akan tetapi kabut tebal dari kepulan asap beraroma belerang itu sangat menghalangi pandangan di atas checkdam. Kendaraan yang akan melintas di atas checkdam harus menyalakan lampu agar sedikit bisa terlihat dari arah berlawanan. Lalu lintas cukup ramai karena jalur menuju Checkdam Kejambon dialihkan ke tempat kami berada. Dahsyatnya aliran yang terjadi di sini beberapa saat yang lalu bisa kuamati dari tingginya tumpukan material yang memenuhi sisi utara checkdam. Dari lokasi itu, aku dan Dendi berpindah ke checkdam Plumbon. Di checkdam Plumbon terlihat banyak warga menonton aliran lahar dingin yang juga mengalir di atas checkdam. Sama dengan checkdam Kejambon, di sini aliran berhasil memutus akses jalan. Sebuah batu berukuran cukup besar tampak kokoh berdiri di atas checkdam. Di sisi barat laut tampak beberapa truk pasir terjebak lahar dingin. Kepulan asap sangat pekat terlihat di sisi utara kami berdiri.

Beberapa saat kemudian aku mendengar melalui komunikasi HT, Lik Marno meminta kami memeriksa kondisi sumber mata air dusun kami yang terletak di checkdam Morangan. Kamipun segera meluncur kembali ke selatan. Kami berjalan perlahan menuruni tanggul yang licin menuju sumber mata air. Aku kaget melihat sumber mata air telah tertutup material lahar dingin. Dendi yang berjalan di depanku sempat terperosok sedalam lututnya ke dalam material pasir karena menyangka tumpukan material itu sudah memadat. Setelah melaporkan kondisi sumber mata air, kami segera menaiki tanggul kembali. Mengingat kondisi sudah semakin gelap, kami memutuskan pulang untuk mengkondisikan badan yang sejak tadi telah menggigil kedinginan.

04 - 05 November 2010 | 17 Km dari Puncak Merapi

Kentingan – 04 November 2010. Malam itu aku berusaha melawan pusing, pilek, bersin – bersin, dan pegal yang menyerang tubuhku di atas tempat tidur. Sambil merapatkan selimut, aku memejamkan mata, berharap deritaku ini segera lenyap. Akan tetapi upayaku itu tampaknya sia – sia saja karena suara gemuruh Merapi yang terdengar sepanjang hari itu semakin keras menggetarkan gendang telingaku. Tak lama kemudian, tiba – tiba terdengar atap rumahku dilanda hujan. Namun aku langsung menyadari bahwa itu bukan hujan biasa, melainkan hujan pasir dan kerikil. Di tengah situasi itu, aku segera bangkit dari tempat tidurku dan membangunkan ibuku yang telah tertidur bersama adikku. Listrikpun tiba – tiba mati dan membuat seluruh ruangan gelap gulita. Dari luar rumah terdengar suara Lik Jumangin berteriak kepada warga untuk bersiap. Akupun membuka pintu ruang tamu dan kusadari bahwa hujan pasir dan kerikil itu semakin deras. Dua sepeda motor tampak meluncur cepat di depan rumah kami menuju selatan. Tak lama kemudian di tengah kegelapan itu aku bisa melihat sosok bapak dan ibu yang menggendong anaknya berjalan hanya dengan penerangan obor berusaha menembus lebatnya hujan pasir. Beberapa saat kemudian kami diberi kabar bahwa aliran lahar panas telah mencapai Dusun Morangan yang hanya berjarak 1 kilometer di sebelah utara dusun kami. Mengetahui hal itu, aku langsung menjejalkan barang – barang ke dalam tas dan bergegas menuju rumah paman di Dusun Sorobayan menjauh dari Kali Gendol. Bapak telah berangkat terlebih dahulu karena harus menjemput nenek. Aku memboncengkan ibu yang masih menggendong adikku. Aku harus memakai mantel karena meskipun hujan pasir telah reda, kini hujan abu yang memenuhi udara. Dalam perjalanan aku bisa melihat melalui sudut mataku beberapa warga juga telah bersiap di depan rumah mereka.
Tak lama kemudian aku tiba di Sorobayan. Di dalam ruang tamu gelap yang hanya diterangi cahaya kecil dari lampu minyak itu, aku bisa melihat nenek dan kerabatku dari Pakem yang sudah sejak kemarin mengungsi di sini. Masker putih tampak menutup hidung dan mulut mereka. Aku melepas masker yang sejak tadi menutup mukaku dan langsung saja aroma belerang pekat merangsek masuk ke dalam hidungku. Kepanikan pada dini hari itu berhasil membuatku lupa bahwa sejam yang lalu kondisi badanku sedang dalam level terendah. Akupun memilih merebahkan badan daripada melihat situasi terakhir Kali Gendol bersama bapak. Sekitar jam tiga pagi, listrik kembali menyala. Aku segera menyetel TV untuk mengetahui berita terkini. Beberapa reporter tampak melaporkan situasi terkini terkait letusan terdahsyat Merapi sejak erupsi pertama 26 Oktober. Bapak yang sejak tadi memantau situasi sekitar, sudah kembali dan menginformasikan bila lahar panas telah mencapai chekdam Dusun Plumbon. Bapak menceritakan kisahnya melihat rumah – rumah terbakar.
Pagipun tiba, kami memutuskan untuk kembali pulang. Namun beberapa saat kami merasa tenang, tiba – tiba aku mendengar Pak RT meminta semua warga untuk berkumpul di Balai Desa Sindumartani karena aliran lahar telah mencapai Dusun Plumbon. Tanpa membuang waktu, aku mengantar ibu dan adikku ke Sorobayan. Kemudian aku meluncur ke balai desa yang hanya berjarak 100 meter dari rumah paman. Di sana sudah berkumpul warga dengan barang bawaan mereka. Tampak juga lalu lalang ambulans dan kendaraan tim SAR melintas menuju utara. Kami mendapat informasi bahwa warga akan diungsikan ke Stadion Maguwoharjo. Tak lama dua truk besar dan beberapa kendaraan milik TNI tiba di balai desa. Ketika warga berangkat, aku menjemput ibu dan adikku untuk segera meluncur ke rumah pakdhe di daerah Monjali. Sementara nenek dan kerabatku mengungsi di rumah saudara di Piyungan.