Minggu, 13 Maret 2011

04 - 05 November 2010 | 17 Km dari Puncak Merapi

Kentingan – 04 November 2010. Malam itu aku berusaha melawan pusing, pilek, bersin – bersin, dan pegal yang menyerang tubuhku di atas tempat tidur. Sambil merapatkan selimut, aku memejamkan mata, berharap deritaku ini segera lenyap. Akan tetapi upayaku itu tampaknya sia – sia saja karena suara gemuruh Merapi yang terdengar sepanjang hari itu semakin keras menggetarkan gendang telingaku. Tak lama kemudian, tiba – tiba terdengar atap rumahku dilanda hujan. Namun aku langsung menyadari bahwa itu bukan hujan biasa, melainkan hujan pasir dan kerikil. Di tengah situasi itu, aku segera bangkit dari tempat tidurku dan membangunkan ibuku yang telah tertidur bersama adikku. Listrikpun tiba – tiba mati dan membuat seluruh ruangan gelap gulita. Dari luar rumah terdengar suara Lik Jumangin berteriak kepada warga untuk bersiap. Akupun membuka pintu ruang tamu dan kusadari bahwa hujan pasir dan kerikil itu semakin deras. Dua sepeda motor tampak meluncur cepat di depan rumah kami menuju selatan. Tak lama kemudian di tengah kegelapan itu aku bisa melihat sosok bapak dan ibu yang menggendong anaknya berjalan hanya dengan penerangan obor berusaha menembus lebatnya hujan pasir. Beberapa saat kemudian kami diberi kabar bahwa aliran lahar panas telah mencapai Dusun Morangan yang hanya berjarak 1 kilometer di sebelah utara dusun kami. Mengetahui hal itu, aku langsung menjejalkan barang – barang ke dalam tas dan bergegas menuju rumah paman di Dusun Sorobayan menjauh dari Kali Gendol. Bapak telah berangkat terlebih dahulu karena harus menjemput nenek. Aku memboncengkan ibu yang masih menggendong adikku. Aku harus memakai mantel karena meskipun hujan pasir telah reda, kini hujan abu yang memenuhi udara. Dalam perjalanan aku bisa melihat melalui sudut mataku beberapa warga juga telah bersiap di depan rumah mereka.
Tak lama kemudian aku tiba di Sorobayan. Di dalam ruang tamu gelap yang hanya diterangi cahaya kecil dari lampu minyak itu, aku bisa melihat nenek dan kerabatku dari Pakem yang sudah sejak kemarin mengungsi di sini. Masker putih tampak menutup hidung dan mulut mereka. Aku melepas masker yang sejak tadi menutup mukaku dan langsung saja aroma belerang pekat merangsek masuk ke dalam hidungku. Kepanikan pada dini hari itu berhasil membuatku lupa bahwa sejam yang lalu kondisi badanku sedang dalam level terendah. Akupun memilih merebahkan badan daripada melihat situasi terakhir Kali Gendol bersama bapak. Sekitar jam tiga pagi, listrik kembali menyala. Aku segera menyetel TV untuk mengetahui berita terkini. Beberapa reporter tampak melaporkan situasi terkini terkait letusan terdahsyat Merapi sejak erupsi pertama 26 Oktober. Bapak yang sejak tadi memantau situasi sekitar, sudah kembali dan menginformasikan bila lahar panas telah mencapai chekdam Dusun Plumbon. Bapak menceritakan kisahnya melihat rumah – rumah terbakar.
Pagipun tiba, kami memutuskan untuk kembali pulang. Namun beberapa saat kami merasa tenang, tiba – tiba aku mendengar Pak RT meminta semua warga untuk berkumpul di Balai Desa Sindumartani karena aliran lahar telah mencapai Dusun Plumbon. Tanpa membuang waktu, aku mengantar ibu dan adikku ke Sorobayan. Kemudian aku meluncur ke balai desa yang hanya berjarak 100 meter dari rumah paman. Di sana sudah berkumpul warga dengan barang bawaan mereka. Tampak juga lalu lalang ambulans dan kendaraan tim SAR melintas menuju utara. Kami mendapat informasi bahwa warga akan diungsikan ke Stadion Maguwoharjo. Tak lama dua truk besar dan beberapa kendaraan milik TNI tiba di balai desa. Ketika warga berangkat, aku menjemput ibu dan adikku untuk segera meluncur ke rumah pakdhe di daerah Monjali. Sementara nenek dan kerabatku mengungsi di rumah saudara di Piyungan.

Tidak ada komentar: