Rabu, 22 Juli 2009

Warga Dusun Kentingan Berhasil Mengalirkan Mata Air dari Dasar Sungai Gendol

Musim kemarau panjang di tahun 2006 yang melanda Dusun Kentingan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman; telah memaksa sebagian warga untuk menimba air dari sumur tetangga. Sementara itu kandungan air di sumur – sumur wargapun semakin menipis. Menggali sumur lebih dalam lagi akhirnya menjadi pilihan terakhir warga. Akan tetapi meski langkah ini telah dilaksanakan, air sumur masih tetap saja kian menipis.
Di tengah kekhawatiran tersebut, muncullah suatu ide yang kurang masuk akal dan terkesan nekat. Karena saya kurang tahu siapa sebenarnya pencetus ide ini, maka pada tulisan ini saya sebut saja Bapak Ahmad. Berawal ketika Pak Ahmad sedang duduk – duduk di atas dam (penahan banjir di Sungai Gendol) mengamati di bawah ada anak – anak sedang asyik mandi dan ibu – ibu mencuci pakaian di suatu kolam dengan sumber air yang jernih.Pak Ahmad melihat air yang jernih itu hanya terbuang sia – sia jika tidak dipakai untuk mandi atau mencuci. Pak Ahmad kemudian berpikir bagaimana jika air yang hanya terbuang percuma itu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan warga. Hal ini tentu akan sangat berarti di tengah kondisi kekeringan yang melanda Dusun Kentingan.
Pak Ahmad kemudian menyampaikan idenya itu kepada warga lain. Warga sebenarnya agak ragu dengan ide Pak Ahmad ini mengingat sumber air itu berada jauh di sebelah utara dusun. Belum lagi medan yang ditempuh juga berat. Apalagi di sebelah barat dusun terbentang tinggi tanggul penghalang banjir di sisi Sungai Gendol. Apakah mungkin bisa mengalirkan air dari sana? Tetapi setelah dipertimbangkan, akhirnya warga setuju bergotong royong mengalirkan air dari dasar Sungai Gendol itu ke perkampungan warga. Setiap KK ditarik dana swadaya Rp 350.000,00 untuk membeli pipa, semen, batako, dan sebagainya.
Gotong royong diawali dengan pembangunan bak penampungan kecil di sebelah kolam tempat mata air itu ditampung sebelumnya. Satu hal yang mengejutkan adalah sumber mata air itu ternyata bisa menghasilkan air dengan jumlah yang sangat besar. Sampai – sampai diesel penyedot air yang digunakan untuk mengeringkan lokasi gotong royong kewalahan. Warga tak kenal lelah membangun bak penampungan itu dari pagi hingga sore hari. Sore itu pembuatan bak penampungan telah rampung. Minggu depan direncanakan warga akan mulai menggali tanah untuk menanam pipa air.
Gotong royong berlanjut dengan menggali tanah menuju ke selatan. Tanah digali sedalam kurang lebih 10 cm. Warga menggali tanah sejajar dengan aliran Sungai Gendol, tepatnya di samping tanggul penahan banjir. Sedikit demi sedikit pipa – pipa dipasang di dalam tanah galian. Selama penggalian, pipa – pipa itu terus dialiri air sehingga kami bisa mengontrol apakah air bisa lancar melalui pipa. Medan yang berat dilalui warga pantang menyerah dengan terus menggali. Gotong royong ini kebetulan bersamaan dengan pembangunan dam baru di sebelah selatan dam lama di mana sumber mata air kami terletak. Karena dam baru itu posisinya melintang dari timur ke barat, maka kami meminta bantuan kepada pekerja proyek dam itu untuk menanamkan pipa kami di dalam dam tersebut.
Sejauh 500 meter dari sumber mata air, pipa kami sudah tertanam. Kami semakin merasa puas ketika air jernih itu bisa mengalir deras di lokasi terakhir kami menanam pipa. Kegembiraan warga sempat terusik karena sesekali air tidak mengalir karena masuknya udara ke dalam pipa sehingga menghambat aliran air. Akhirnya setelah melalui berbagai upaya dan percobaan serta menunggu beberapa waktu, aliran air kembali lancar. Sekarang pekerjaan berat yang menanti adalah mengalirkan air menaiki tanggul yang tingginya sekitar 8 meter. Kembali kami menata pipa menaiki tanggul. Pipa dari utara disambung ke pipa yang menanjak itu. Ketegangan muncul ketika kami menunggu apakah air bisa naik dan melampaui tanggul. Akhirnya air bisa mengalir deras di atas tanggul. Selama satu minggu air itu dibiarkan mengalir deras di sebelah timur tanggul. Beberapa warga memanfaatkannya untuk mandi
Minggu berikutnya, kami menggali tanah lagi untuk menanam pipa menuju timur ke tengah perkampungan warga. Kami berhasil mengalirkan air itu sampai pemukiman warga. Karena belum ada bak penampungan, maka air itu dibiarkan mengalir begitu saja. Air itu menggerojog di depan rumah saya. Banyak warga yang tertarik melihat aliran deras air itu. Banyak pula warga sekitar yang memanfaatkannya untuk mencuci dan mandi. Akan tetapi masalah kembali muncul yaitu sering matinya aliran air karena masuknya udara ke dalam pipa sehingga menghambat aliran air. Selain itu lama kelamaan air menjadi berwarna kekuning – kuningan karena berkarat. Jika dicium, air itu berbau seperti besi berkarat. Mungkin karena air banyak mengandung zat besi. Air baru bisa jernih kembali setelah disentor di sebelah barat tanggul. Di pertemuan pipa mendatar dari utara dengan pipa yang posisinya naik ke atas tanggul itu telah dipasangi stop kran yang fungsinya untuk menguras (menyentor) air dari utara.
Karena timbulnya masalah ini, kemudian warga membangun bak penyaringan air yang terletak di atas tanggul. Bak penyaringan itu diisi pasir, kerikil, ijuk, dan berbagai bahan yang diharapkan bisa menyaring karat. Bak utama di utara tempat sumber mata air berada juga sudah diberi bahan – bahan untuk menyaring tadi. Setelah pembuatan bak penyaringan itu, air tidak terlalu berkarat lagi. Aliran air sekarang juga sudah bisa dinikmati di setiap rumah warga karena sudah dialirkan melalui pipa – pipa kecil menuju rumah – rumah warga. Meskipun karat dalam air sudah banyak berkurang, akan tetapi kandungan karat dalam air itu masih tetap saja ada. Terbukti dengan menguningnya air jika tidak dikuras selama beberapa hari. Akhirnya untuk mengatasi hal tersebut, setiap hari air dikuras. Setiap hari dijadwalkan dua orang warga bertugas menguras air. Jika dihitung – hitung, seorang warga bertugas menguras air setiap tiga minggu sekali.

Tidak ada komentar: